Struktur Pemerintahaan Kerajaan Aceh
Pada saat Aceh masih sebagai sebuah
kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar
sekarang yang dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk (Aceh Besar).
Untuk nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang menyebutnya dengan nama
Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga Sagi). Penyebutan ini berhubungan erat
dengan situasi daerah itu yang mencakup tiga sagi, yaitu disebut Sago
(Sagi) XXV Mukim, Sago (Sagi) XXVI Mukim, dan Sago (Sagi) XXII Mukim.
Selain itu, ada juga yang
menyebut dengan istilah Aceh Inti (Aceh proper) [3], yang maksudnya
Aceh sebenarnya. Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada
mulanya yang menjadi inti Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah
terletak ibukota kerajaannya4, yang bernama Banda Aceh atau lengkapnya
Banda Aceh Darussalam5, yang oleh orang-orang Aceh lazim disebut pula
dengan nama Aceh saja.
1. Tentang Nama dan Perkembangan Kerajaan
Dari nama asalnya Aceh dan
kapan istilah ini mulai digunakan merupakan suatu hal yang sulit untuk
dipastikan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh, menyebutnya
dengan nama yang berbeda-beda. Orang Arab menyebut Asyi, orang Portugis
menyebut Achem atau Achen, orang Belanda menggunakan istilah Acheen
atau Achin, orang Prancis mengatakan Achen atau Acheh. Di dalam
naskah-naskah Melayu lama seperti kitab Adat Aceh6, Hikayat Aceh [7],
dan kitab Bustanus Salatin [8], serta pada salah satu jenis mata uang
dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh [9] (sejenis coin yang terbuat
dari timah), menyebutnya nama Aceh sebagaimana yang disebut sendiri
oleh orang-orang Aceh.
Mula muncul dan berkembangnya
Aceh sebagai sebuah kerajaan, berhubungan erat dengan penunjukkan kota
Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Sebelum diduduki oleh
Portugis, Malaka terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia
Tenggara dan pusat penyebaran agama Islam yang di- lakukan oleh para
pedagang Islam yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Gujarat
(India). Penaklukan kota Malaka dimaksudkan Portugis di antaranya untuk
menghancurkan perdagangan orang-orang Islam di sana.[10]
Setelah berhasil, pihak
Portugis tidak memperkenankan lagi pedagang-pedagang Islam ini datang
ke kota Malaka. Akibat- nya, timbul kegoncangan dalam jaringan
perdagangan di kawasan Selat Malaka para pedagang Islam terpaksa
menyingkir dari sana, mencari tempat-tempat lain. Salah satu sasaran
mereka, yaitu Aceh. Dengan berdatangannya para pedagang Islam ini, Aceh
mulai berkembang sebagai tempat per-dagangan. Selanjutnya oleh para
saudagar Islam ini, Aceh digunakan sebagi pengganti Malaka yang direbut
oleh bangsa Portugis.
Menurut R.A. Hoesein
Djajadiningrat, Kerajaan Aceh pertama kali berdiri pada tahun 1514,
dengan rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah, yang juga sebagai
pendiri kerajaan ini.[11] Selanjutnya dalam perkembangan sejarahnya,
setelah sekitar satu abad berdiri atau pada awal abad ke XVII, kerajaan
ini mencapai puncak kejayaannya. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Kejayaan ini disebabkan
tindakan-tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh
Sultan ini dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, bidang
politik, bidang sosial, dan bidang agama.[12] Berikut ini digambarkan
bagaimana struktur politik Kerajaan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda hingga berakhirnya kesultanan Aceh pada awal abad ke XX.
2. Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh
Saat Sultan Iskandar Muda me-
merintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di
Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah
Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah
yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong
disebut Geucik atau Keuchik [13], yang dibantu oleh seorang yang mahir
dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah.
Selain itu, dalam sebuah dalam
sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang
dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga
yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka [14] yang tersebut
terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan
ber-pengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada
empat orang yang dinamakan Tuha Peut [15] dan ada juga yang delapan
orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih
besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari
beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya
melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah
masjid [16]. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum
ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus di-ikuti).
Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada
setiap hari Jumat di sebuah masjid.[17]
Pada mula dibentuk setiap mukim
diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat
memegang senjata.[18] Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan
politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah
menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum
Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang
mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan
berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni
menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada
setiap hari Jum’at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang
disebut Imuem Mesjid.
Di wilayah Aceh Rayeuk
(Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan
yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi.
Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini,
yang dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau
Sagi tersebut masing-masing dinamakan :
1. Sagi XXII Mukim,2. Sagi XXV Mukim, dan3. Sagi XXVI Mukim. [19]
Penamaan
ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada masing-masing
Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya
sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI Mukim,
ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian
juga untuk kedua Sagi lainnya.[20]
Tiap-tiap Sagi di atas,
diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima Sagoe [21] atau
Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar
Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya
sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu
sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan
nama Cap Sikureung (cap sembilan).[22]
Di luar dari ketiga Sagi atau
federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat unit-unit pemerintahan
yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim-mukim yang diikuti nama
di belakangnya (nama tempat). Pimpinan pemerintahan di Mukim-mukim ini
sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat
mereka juga sama dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas
wilayah teritorial mereka jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
Sagi.
Kepala pemerintahan Mukim ini
berada langsung di bawah pengawasan Sultan Aceh, jadi tidak di bawah
Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah disebutkan di atas.
Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang terletak di sebelah
kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun,
dan Mukim Meuraksa.[23]
Di luar dari mukim-mukim yang
berdiri sendiri ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim,
tetapi Kepala Mukimnya tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim
ini berada di bawah dari ketiga Sagi yang telah disebutkan di atas.
Bentuk wilayah kerajaan lainnya
yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe
ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di
luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan melebihi
seratus dan menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sekarang).[24] Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi
ekonomi dari masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut
Uleebalang [25], yang ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.
Mereka menerima kekuasaan
langsung dari Sultan Aceh, tetapi para Uleebalang ini merupakan Kepala
Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka
masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang
di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh.
Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata [26] yang dibubuhi stempel
Kerajaan Aceh, Cap Sikureung [27], seperti telah disebutkan di atas.
Surat pengangkatan, diberikan oleh Sultan Aceh kepada Uleebalang yang
sanggup membayar dengan biaya yang jumlahnya di- tetapkan oleh Sultan.
Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan Sarakata, karena ia
merupakan status dari kekuasaannya.
Tugas Uleebalang [28] adalah
memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari daerah
kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga menjalankan
perintah-perintah atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau
perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada
Sultan. Namun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang
memonopoli kekuasaan di daerahnya.[29]
Dan masih tetap sebagai
pemimpin yang merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang
berada di wilayahnya. Misalnya dalam hal pengadilan atau melaksanakan
hukuman. Namun ketika kewibawaan Kesultanan Aceh masih kuat, Sultan
memiliki hak istimewa atas wilayah Nangroe. Hak-hak ini hanya dimiliki
oleh Sultan, sedangkan Uleebalang tidak. Dapat disebutkan misalnya hak
untuk menghukum seseorang yang bersalah, hak untuk me- ngeluarkan mata
uang,hak untuk membunyikan meriam pada waktu matahari terbenam, dan hak
untuk mendapat panggilan dengan sebutan Daulat.[30]
Hak-hak ini sebenarnya
dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan para Uleebalang,
terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap seorang
yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah, terutama
pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada
lagi).[31] Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di
Nangroe-nangroe adalah para Uleebalang.
Dalam memimpin pemerintahan
Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang
disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang
[32], yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang
bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut
Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang
mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu
sebagai pengawal Uleebalang [33], yang dapat diperintahnya untuk
bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang
diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil
yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nangroe-nangroe tersebut di
atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian
barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas
beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah.
Tetapi tidak semua nangroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai
timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di
beberapa nangroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten
Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang
Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan
Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis
Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam
struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang
berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh
Dar as Salam.[34] Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para
kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan
dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing.
Berdasarkan sebuah manuskrip (MS) [35], susunan pemerintahan pusat
Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan
dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja23. Imam Muluk atau Imam Raja24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja. [36]
Kedua puluh empat lembaga atau
jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh oranga-orang tertentu
yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan
Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya
hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini
turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga
ini adalah
1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim.[37] Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”,
disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang,
yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana , yang tunduk atau
berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah,
yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini
tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam
pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.[38]
Demikian struktur Kerajaan Aceh
hingga berdamainya Sultannya yang terakhir Sultan Mahmud Daud Syah
dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal berakhirnya
Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda,
hingga tahun 1942.
Oleh Hendy Hy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar